Daftar Isi Web ABAM

abamSelamat datang di ABAM. Tiga tahun kami melayani pertanyaan seputar ateisme, sains, supranatural, dan sebagainya melalui Fanpage ABAM di Facebook, kami mencoba mendokumentasikan jawaban dari pertanyaan yang sering ditanyakan di sana secara lebih baik. Melalui page ini kami berharap semua orang bisa memahami apa itu ateisme sebelum memutuskan untuk beropini terhadap ateisme secara umum. Di web ini Anda akan membaca apa yang kami pikirkan, apa yang kami baca, dan apa yang kami alami.

Menu Tanya jawab berisi pertanyaan dan jawaban yang sering kami dapatkan di Fanpage ABAM.

Menu Rekomendasi berisi rekomendasi film, buku, artikel yang kami anggap bagus dalam memperluas pengetahuan seputar sains yang kadang bisa beririsan tipis dengan ketidakbertuhanan.

Menu Insight, Anda akan mendapatkan tulisan bebas yang ditulis para ateis seputar beragam topik.

Menu Kisah Ateis berusaha menjawab pertanyaan terbesar yang paling sering ditanyakan, yakni bagaimana dan kenapa seseorang menjadi ateis. Bagian ini berisi kumpulan argumen dan cerita bagaimana seseorang menjadi tidak mempercayai lagi keberadaan tuhan.

Berikut adalah daftar pertanyaan yang dijawab di Web ini. Daftar ini akan terus bertambah.

Seputar Ateisme Mendasar

Apakah ateisme itu?

Bukankah ateis adalah kepercayaan juga? Bahwa Tuhan tidak ada?

Apa itu agnostik? Apa perbedaannya dengan ateis?

Apa itu Panteisme? Apa itu Deisme?

Apa yang dimaksud istilah ‘god of the gaps’?

Politik dan Kehidupan Ateis

Apa isi kolom agama di KTP ateis?

Apakah komunis itu ateis?

Apa ideologi politik para ateis?

Apakah dengan menjadi ateis bisa melakukan sex bebas?

Apakah ateis menikah? Bagaimana pandangan ateis tentang pernikahan?

Apakah ateisme dilarang di Indonesia? Kaitannya dengan sila Pertama Pancasila?

Menyangkut Sila Pertama “Ketuhanan yang maha Esa” apakah ateis perlu diusir dari Indonesia?

Apa sebenarnya sekuler itu?

Masa Sih Manusia Bisa Hidup Damai atau Baik Tanpa Agama?

Filosofis

Adakah cara menjadi ateis?

Bagaimana ateis membuktikan bahwa Tuhan Tidak ada?

Dari Mana Datangnya Semua Ini Jika Tuhan Tidak Menciptakannya?

Untuk Apa Kita Hidup Jika Tuhan Tidak Menciptakan Kita?

Jika tidak ada surga dan neraka, bagaimana dengan orang-orang jahat yang lolos dari peradilan dunia?

Tanpa agama, apa landasan moral ateis?

Tidak percaya Tuhan ada atau percaya bahwa Tuhan tidak ada?

Ada banyak konsep Tuhan, apakah Ateis tidak percaya semuanya?

Jika Tuhan tidak ada dari mana adanya Alam Semesta?

Ke manakah ateis setelah mati?

Bisakah ilmu pengetahuan mengalahkan kematian?

Bukankah Alam Semesta Punya Sebab Yaitu Tuhan? (Argumen Prima Causa)

Apa yang dimaksud “religion is just a matter of geography”?

Jika nanti ternyata setelah mati Tuhan benar-benar ada, bukankah ateis rugi?

Jika Tuhan tidak ada, siapa yang selama ini mengabulkan doa?

Di antara banyak planet kenapa hanya bumi yang dihuni mahkluk hidup?

Dapatkah ateis kembali beragama?

Ilmu Pengetahuan

Kenapa ateis banyak yang mengacu pada sains?

Apakah ada kemungkinan ada Universe lain di luar Universe yang kita tinggali?

Apa itu Dark Matter & Dark Energy?

Apakah black hole itu? Apakah black hole benar-benar ada?

Apakah mesin waktu itu benar benar bisa dibuat?

Penjelasan Supranatural & Debunking

Bagaimana penjelasan mengenai orang yang tiba-tiba mampu berbahasa asing?

Apakah roh itu benar benar ada? Jika tidak, bagaimana manusia bisa hidup?

Apa penjelasan ateis mengenai Anak Indigo?

Bagaimana penjelasan mayat tokoh agama yang tidak membusuk?

Pertanyaan Lucu dan Lain-Lain

Apa itu “Flying spaghetti monster” dan kenapa ateis sering menyebutnya?

Apakah benar Einstein pernah membantah seorang profesor tentang keberadaan Tuhan?

Apa yang dimaksud Einstein dengan “God didn’t play dice”?

Apakah alien itu benar-benar ada?

Kenapa polisi tidur dinamakan polisi tidur?

Kenapa menguap itu menular?

Kenapa manusia bermimpi?

Bagaimana Anda Sampai Jadi Ateis? HDW Menjawab

“Kalo Tuhan itu yang ciptain manusia, terus siapa yang ciptain Tuhan?”

Kebanyakan dari kita punya pertanyaan ini saat kecil. Tapi kebanyakan dari kita juga, tumbuh dengan melupakan bahwa kita dulu pernah seskeptis itu, terhadap Tuhan, dan terhadap hal lain di dunia.

Saya bukan perkecualian. Waktu kecil saya sering menanyakan hal-hal seperti itu. Dalam liturgi Katolik misalnya, hampir setiap doa diakhiri dengan “Sekarang dan selama-lamanya”. Ketika saya menanyakan, “Selama-lamanya itu sampai kapan sih?”, bukan jawaban yang saya dapat, tapi celotehan yang intinya mewajibkan saya untuk percaya saja tanpa banyak tanya. “Sudahlah, percaya saja, nanti dosa lho”. Saya yakin, kebanyakan dari kita punya momen-momen ini di masa kecil. Beberapa lebih beruntung daripada saya, tapi tidak jarang juga yang mendapatkan respon lebih buruk seperti ancaman neraka ataupun amarah orang tua.

Jawaban-jawaban yang tidak memuaskan ini membuat saya tumbuh jadi seorang yang selalu ragu akan hal yang kita sebut “iman”. Waktu SD-SMP saya bisa dibilang cukup relijius. Bukan secara iman, tapi secara perbuatan. Indoktrinasi dan tekanan sosial -mau tidak mau- cukup membuat saya mempunyai mindset “I want to believe”. Saya aktif di kegiatan gereja, jadi putra altar dan organis gereja misalnya. Saya tidak pernah 100% percaya, bahkan 80%pun tidak. Tapi Saya ingin mempunyai iman seperti teman-teman dan keluarga saya, yang sepertinya tidak banyak pusing bisa berdevosi dan benar-benar yakin dengan kebenaran Alkitab dan Tuhan. Konyol ya? Mungkin, tapi saya menyebutnya peer pressure.

Beruntung saya memilih untuk melanjutkan sekolah di sebuah SMU Kolese yang didirikan oleh para Jesuit dalam Serikat Yesus. Serikat Yesus (Societas Iesu) adalah salah satu ordo Katolik yang berkarya di pendidikan, baik secara intelektual maupun sosial. Semangat ini tercermin dari para pemimpin dan pengajar. Romo-romo, frater, dan guru tidak pernah bawa-bawa “Jesus this” dan “Jesus that”. Tekanan untuk menjadi relijius jauh berkurang. Di sini Saya mendapatkan jawaban-jawaban memuaskan tentang alam. Di sini Saya belajar bahwa kehidupan sosial jauh lebih penting daripada mematuhi dogma yang tidak berhubungan dengan kemanusiaan.

Hal penting yang Saya dapatkan dari ketidak relijiusan adalah kontemplasi. Saya punya jarak antara diri saya dengan apa yang saya percayai untuk bisa menanyakan kembali hal-hal yang fundamental, bahkan mengritik kepercayaan saya sendiri. Bagaimana bila agama saya salah? Bagaimana bila agama lain yang benar? Apakah bila saya lahir di keluarga Islam atau Buddha saya akan tetap menjadi Katolik? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita renungkan kembali saat kita tidak lagi relijius.

Saya pergi dari kampung halaman untuk berkuliah di Jakarta. Di sini saya bertemu dengan orang yang jauh lebih heterogen, tinggal sendiri (kos), dan yang paling penting: punya akses Internet (dengan I kapital). Hal-hal ini membuat saya jadi lebih open. Internet terutama. Di Internet saya bertemu dengan jauh lebih banyak orang dan bisa mendapatkan informasi apapun. Anonimitas Internet membuat pendapat yang dianggap tabu jadi bisa terdengar. Ide-ide tabu inilah yang membuat saya makin penasaran dengan pemikiran-pemikiran yang belum pernah saya dengar sebelumnya.

Di satu sisi, saya seperti tertohok. Ga sakit di mana-mana sih, cuma gondok aja. Iman saya yang memang tadinya tidak seberapa itu, goyah. Di sisi lain, ini menyenangkan. Pertanyaan-pertanyaan yang tadinya dijawab dengan fallacious oleh para relijius jadi bisa dijelaskan dengan baik oleh ide-ide baru ini. Everything makes more sense now. Makin lama saya makin yakin bahwa agama itu hanyalah pemikiran usang yang bertujuan baik di jamannya. Saya belum mengenal label di sini. Yang saya tahu, saya sudah tidak lagi memercayai agama, tapi masih cukup percaya bahwa ada sosok Tuhan yang baik di atas sana.

Ini adalah era di mana saya menjadi hipster new-age. Saya tidak tahu istilah itu dulu, tapi bila saya sekarang melihat diri saya waktu itu, ini adalah label yang cukup pantas. Saya jadi lebih spiritual, percaya dengan teori konspirasi agama, bahwa semua agama pada dasarnya baik dan berisikan metafora atau kode-kode tertentu yang menjelaskan the ultimate truth dengan bahasa yang terbatas. Saya tahu kenapa ini terjadi. Saya kekurangan bacaan, saya hanya memilih mana yang menyamankan hati saja. Saya tahu bahwa agama itu dalam prakteknya buruk, tapi masih percaya dengan fairy tale bahwa ada maksud tertentu buat semua ini. Harus ada sesuatu di balik ini.

Tapi ketika dikembalikan dalam otokritik, saya menyadari bahwa itu semua hanyalah keinginan saya. Tuhan itu harus baik. Dunia ini harus ada maksudnya. Harus, harus. Siapa sih yang mengharuskan? Ternyata keinginan saya sendiri. Saya sadar bahwa di saat itu saya menolak untuk melihat dunia apa adanya, the world as it is. Mungkin karena dunia itu kejam. Banyak orang yang mati kelaparan, saya ingin berpikir ada sesuatu yang indah sebagai kompensasi atas penderitaan mereka di dunia. Predasi ada di mana-mana. Saya tidak ingin menerima rusa lucu setiap harinya dibunuh untuk memenuhi kebutuhan nutrisi singa yang lapar sebagai fakta dunia. Tapi keinginan itu bukan kenyataan.

Berbulan-bulan saya mempelajari bagaimana dunia bekerja sebagaimana adanya. Berbulan-bulan saya menambah pengetahuan mengenai agama dan berdiskusi (dan berdebat) dengan para relijius dan non-relijius. Jawaban-jawaban dari para relijius yang seolah menolak kenyataan itu membuat saya semakin skeptis dengan keberadaan Tuhan yang baik. Saya lambat laun jadi lebih realistis. Saya tidak lagi spiritual-hipster. Saya bisa lebih objektif melihat keburukan-keburukan agama.  Saya semakin tidak percaya dengan keberadaan Tuhan walaupun masih ada sedikit keinginan akan adanya Tuhan. Hingga suatu saat usai menonton film Harry Potter, saya berpikir, “Bila saya tidak percaya sama cerita Harry Potter, kenapa saya bisa percaya Voldemort itu ada?”. Jawaban atas pertanyaan inilah yang akhirnya membuat saya jadi ateis. Saya tidak lagi percaya bahwa Tuhan itu ada.

Sekarang sudah hampir sepuluh tahun saya jadi seorang ateis. Everything makes sense now. Saya merasa lebih bahagia. Saya bisa menjalani hidup sesuka hati saya tanpa disuruh-suruh agama. Saya lebih ingin menjalani hidup dengan maksimal karena saya tahu ini adalah hidup saya satu-satunya. Saya melihat dunia lebih apa adanya sekarang. Manusia tidak sempurna, dunia juga tidak sempurna. Mengimajinasikan sosok yang sempurna tidak akan mengubah apapun.

“The world is not perfect, that’s why it’s beautiful” – Roy Mustang

Apa sih bedanya bangku sama kursi? (Dijawab oleh Dewi Rainny)

Jawaban menarik untuk pertanyaan menarik di grup ABAM:

Kita mengenal kata bangku dari bahasa Portugis, dan bentuknya panjang untuk dua, tiga, empat orang duduk bersama. Di mana kata/benda itu datang? Kemungkinan kata bangku datang bersama kata Portugis lainnya: banco de igreja, atau bangku gereja.

Dari mana kita mengenal kursi? Pernah mendengar ayat kursi? Ya, dari bahasa Arab. Kursi berarti singgasana, tahta, juga tempat duduk. Seperti halnya singgasana, tentu yang duduk hanya satu orang.

Tapi film “bangku kosong” sebenarnya bercerita tentang “kursi” yang kosong. Ini bicara tentang tempat duduk sekolah bukan?

Di sekolah, istilah tempat duduk yang digunakan adalah bangku. Ada ‘uang bangku’ ada istilah ‘masih duduk di bangku sekolah’ untuk menggambarkan usia seseorang, walaupun yang dipakai duduk adalah kursi–individual, satu orang satu tempat duduk, tidak berbagi.

Tapi kenapa tempat duduk di sekolah untuk murid (bukan kursi guru) disebut bangku? Karena dulunya, sekolah di Indonesia diisi dengan bangku, bukan kursi.

Lihat ilustrasi berikut:
3374133_20140612115008

Sampai saat ini, tempat duduk bagi murid masih disebut bangku, walaupun dilihat dari bentuknya sebetulnya lebih tepat disebut kursi.

Tidak berarti saat ini tak ada lagi sekolah yang menggunakan bangku. Masih ada. Lihat gambar ini:
dsc01576

http://jeperis.files.wordpress.com/2009/03/dsc01576.jpg?w=300&h=225

Bandingkan ilustrasi dari zaman dulu dan foto hari ini tentang bangku, terlihat betapa merosotnya mutu (fasilitas) pendidikan kita.

Terima kasih untuk pertanyaannya.

-Dijawab oleh Dewi Rainny.

 

Jangan lupa bergabung dengan grup ABAM di Tanya ABAM.

Masa Sih Manusia Bisa Baik atau Hidup Damai Tanpa Agama?

dogoodheart

 

Baru-baru ini saya menemukan komentar berikut terhadap salah satu tulisan saya di web ABAM: “Manusia tidak bisa damai tanpa agama dan hanya dengan mengandalkan logika.” False dilemma yang tersirat dalam komentar si X, bahwa “tanpa agama” berarti “hanya mengandalkan logika” akan saya bahas lain kali. Jujur, saya sudah lelah membaca dan mendengar komentar serupa. Banyak penganut agama yang berasumsi bahwa manusia hanya bisa “baik” kalau beragama. Yah, wajar saja kalau X (yang sepertinya orang baik-baik) percaya bahwa (seperti kebanyakan umat beragama yang baik-baik juga) semua konflik agama disebabkan oleh “oknum” dan bukan oleh ajaran-ajaran agama, juga bahwa manusia betul-betul butuh agama agar bisa hidup dengan damai atau agar bisa menjadi manusia yang baik. Memang benar, kebanyakan konflik agama  tidak murni disebabkan perang ideologi, namun juga disebabkan banyak faktor lain seperti ekonomi, wilayah, rebutan sumber daya, tribalisme, dsb. Sure, sure. Saya juga jujur kurang yakin kalau dogma tok bisa membuat sekelompok orang kalap tanpa dibantu kemisikinan, ketimpangan sosial, dan faktor lainnya. Masa iya FPI mau repot-repot mengancam tempat-tempat hiburan kalau bukan ujung-ujungnya minta amplop? Tidak mungkin kan lapisan bawahnya yang seringkali rela berpanas-panas ria membawa spanduk itu menikmati gaji jauh di atas UMR? Cukup sering juga agama menjadi lem identitas yang menyatukan kelompok yang tertindas, rebutan sumber daya, wilayah dan lain sebagainya yang saya sebut tadi. Bahwa doktrin agama seringkali berpotensi memperburuk keadaan atau memperpanjang konflik mungkin bisa dibahas di kesempatan lain.

Di kesempatan ini, saya tertarik membahas beberapa hal: apa betul manusia (sebagai kelompok) tidak bisa hidup damai tanpa agama? Lalu apa kriteria “manusia baik” yang layak dijadikan pegangan? Dan dengan mempertimbangkan kriteria “baik” ini, mengapa kita sangat perlu akal sehat (atau yang kayaknya disebut “logika” oleh si X) dalam mengambil keputusan?

~

Sebelum membahas apa manusia bisa hidup damai tanpa agama, pertama-tama kita harus terlebih dahulu sepakat dengan kriteria “damai.” Sebagai kelompok, manusia dapat dikatakan damai kalau bebas dari konflik. Mungkin kriteria netral yang dapat saya gunakan di sini adalah yang dipakai oleh Global Peace Index. GPI adalah produk The Institute for Economics and Peace yang berbasis di Australia. Setiap tahun GPI mengeluarkan daftar peringkat negara-negara menurut indeks “kedamaiannya,” sesuai dengan data yang dikumpulkan oleh The Economist Intelligence Unit. Kriteria “damai” GPI antara lain sebagai berikut: jumlah konflik internal maupun eksternal, jumlah kematian yang disebabkan konflik internal maupun eksternal, tingkat kriminalitas, stabilitas politik, aktivitas teroris, jumlah tindakan kejahatan yang violent, jumlah kasus pembunuhan per 100.000 orang, dan lain-lain. You get the picture.

~

Berikut adalah negara-negara paling damai menurut GPI, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang saya sebut di atas (urutan sesuai peringkat, dimulai dari peringkat paling tinggi): Islandia, Denmark, Selandia Baru, Austria, Swiss, Jepang, Finlandia, Kanada, Swedia, Belgia, Norwegia, dst. Daftar lengkapnya bisa ditemukan di: http://en.wikipedia.org/wiki/Global_Peace_Index#Global_Peace_Index_rankings

Kalau kita sepakat bahwa kriteria damai yang digunakan GPI cukup baik dan bahwa asumsi si X bahwa “manusia tidak bisa damai tanpa agama” memang betul, seharusnya negara-negara yang menduduki peringkat teratas dalam GPI adalah negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama. Betul kan? Bagaimana mungkin negara-negara tersebut bisa damai (i.e., memiliki tingkat konflik, tingkat kriminalitas, tingkat pembunuhan, tingkat kematian akibat konflik, dst. yang rendah) kalau mayoritas penduduknya tidak beragama?

Yuk kita lihat, seperti apa sih kepercayaan mayoritas penduduk di negara-negara yang saya sebut di atas?

NOTE: sisa persentase menjawab tidak tahu atau tidak bersedia menjawab.

Islandia: 31% percaya Tuhan, 49% tidak percaya Tuhan namun percaya semacam “spirit” atau “life force”, dan 18% tidak percaya Tuhan, spirit, dan life force*

Denmark: 28%, 47%, 24%

Austria: 44%, 38%, 12%

Swiss: 44%, 39%, 11%

Jepang: Kurang dari 15% mengaku memiliki afiliasi agama (2010)**

Finlandia: 33%, 42%, 22%

Kanada: 30% tidak percaya Tuhan***

Swedia: 18%, 45%, 34%

Belgia: 37%, 31%, 27%

Norwegia: 22%, 44%, 29%

(Sumber: Eurobarometer Poll 2010, Canadian Ipsos Reid Poll, dan Craig Lockard)

Bandingkan angka-angka di atas dengan Indonesia yang populasi irrelijiusnya mungkin tidak sampai 1% (maklum kalau susah mendapatkan angka yang akurat berhubung WNI “diharuskan” beragama).

*Pada tahun 2013, 76,18% penduduk Islandia berafiliasi dengan the Church of Iceland. Angka ini sekilas membingungkan, mengingat hasil survey yang saya berikan di atas. Yang perlu dimengerti, “afiliasi” dengan agama tidak berarti seseorang menganut agama tersebut atau beribadah menurut agama tersebut, seperti yang akan saya jelaskan di bawah.

**Menurut Craig A Lockard. Societies, Networks, and Transitions Since 1450 (2nd ed., 2010). Secara budaya, Jepang mengkombinasikan beberapa kepercayaan, termasuk Shinto. Sedangkan menurut makalah yang diterbitkan Harvard University Press tahun 1988, 70%-80% penduduk Jepang menjawab tidak percaya agama saat diikutsertakan dalam survey.

***Survey yang diselenggarakan di Kanada berbeda dengan survey yang dilaksanakan di negara-negara Eropa yang disebut di atas. Survey yang saya sebut diselenggarakan oleh The Canadian Ipsos Reid Poll (2012). Yang menarik, menurut survey yang sama, dari 31% yang mengaku tidak percaya Tuhan (BUKAN dari total penduduk), 33% mengidentifikasi diri sebagai Katolik, dan 28% mengaku Protestan. Bisa dilihat bahwa mereka yang mengaku tidak percaya Tuhan, secara kultural adalah Katolik atau Protestan. Sebagai tambahan, menurut sensus pemerintah Kanada, populasi yang nonrelijius meningkat dari 12,6% pada tahun 1991 hingga 23,9% di tahun 2011.

~

Survey agama memang sedikit problematis, seperti yang dapat kita lihat di atas. Kok bisa orang yang mengaku tidak percaya Tuhan juga mengaku Katolik? Ambil contoh kakak ipar saya (Italia-Amerika) yang “Katolik” secara kultural. Ia tidak pernah ke gereja maupun berdoa, namun merayakan Natal, tidak jauh beda dengan saya yang ateis namun dibesarkan secara protestan dan masih suka menyanyikan lagu-lagu Natal atau bertukar kado saat Natal. Juga teman saya yang orang Turki yang mengaku Muslim, namun tidak percaya Tuhan personal, organized religion, dan bahkan tidak tahu kalau wanita tidak boleh salat di masjid saat menstruasi. Bingung? In short, “agama” bagi mereka yang nonrelijius (bahkan ateis) dapat berperan sebatas sebagai identitas kultural, jadi kita harus ingat bahwa “afiliasi agama” sama sekali berbeda dengan religiositas.

Biar mudah, berikut daftar bangsa yang paling tidak religius* menurut GALLUP WorldView Poll 2006-2011 (diakses 14 September 2011):

  1. Swedia
  2. Denmark
  3. RRC
  4. Norwegia
  5. Estonia
  6. UK
  7. Hong Kong
  8. Perancis
  9. Czech Republic
  10. Jepang
  11. Finlandia
  12. Belgia
  13. Selandia Baru

*Daftar sesuai peringkat, dari paling tidak religius.

Di Eropa, jumlah penduduk yang tidak beragama semakin meningkat. Menurut studi berdasarkan sembilan survey berbeda yang hasilnya dilaporkan di pertemuan American Physical Society di Dallas, AS, pada tahun 2011, agama akan mulai “punah” di negara-negara berikut: Australia, Austria, Kanada, Czech Republic, Finlandia, Irlandia, Belanda, Selandia Baru, dan Swiss. Model matematika yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh Dr. Daniel Abrams di tahun 2003 untuk untuk mengukur “kematian” (kepunahan) bahasa-bahasa dunia (http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-12811197). Cukup lucu bahwa banyak negara yang digunakan dalam survey juga dinilai GPI sebagai negara-negara yang paling “damai” di dunia. Kebetulan?

~

Jadi, menganggapi komentar pengunjung web ABAM tadi: tidak, manusia sebagai kelompok tidak butuh agama untuk damai, untuk tidak berbuat jahat, dst. (by the way, baru-baru ini empat penjara di Swedia yang penduduknya hanya 18% teis ditutup karena jumlah pelaku tindakan kriminal menurun). Mungkin saja si X tadi secara pribadi merasa agama memberikan dia jangkar moral, belum lagi ketenangan, harapan, dsb. Mungkin saja ada manusia-manusia yang akan saling bacok kalau tidak dilarang agama, atau akan mencuri, atau akan korupsi, seperti yang sering terjadi di Indonesia ini. Eh…ah sudahlah.

Kita yang dibesarkan di Indonesia sudah dikondisikan dari kecil untuk percaya bahwa tanpa agama manusia tidak akan berfungsi secara sosial dan akan bertindak anarkis, bahwa agamalah yang berperan sebagai rem moral. Maka mungkin wajar kalau ada ketakutan bahwa tanpa rem moral tersebut, manusia akan bertindak semaunya. Kalau Anda sering main ke FP ABAM, tentu sering kan ketemu pertanyaan kocak seperti, “Kalau tidak percaya Tuhan, berarti kalian bebas dong ngapain aja (dari nyolong, membunuh, sampai ke yang absurd seperti ‘ngeseks dengan adik/ibu sendiri’—true story)?” Namun, dengan logika serupa, seharusnya Indonesia yang mayoritas beragama lebih bersih dari tindakan kejahatan, korupsi, human trafficking, konflik internal, dan sebagainya dibandingkan bangsa-bangsa “kafir” yang saya sebutkan di atas. Kenyataannya? Justru tingkat pendidikan dan kesejahteraanlah yang berkorelasi lebih erat dengan  kedamaian, dengan rendahnya tingkat kriminalitas.

Anyway, sekedar menawarkan perspektif. Berikut adalah lima negara yang menduduki peringkat terendah GPI: Sudan, Irak, Syria, Somalia, Afghanistan. Apa ini berarti agama membuat orang saling bunuh? Tidak juga. Kenyataannya memang jauh lebih kompleks dari itu, karena seperti yang saya kemukakan di awal, banyak variabel lain yang memiliki andil. Hanya, kalau agama menjamin  manusia akan damai atau kalau manusia butuh agama agar damai, melihat bukti yang ada, ya sudah jelas salah. Saya yakin, tanpa percaya Tuhan atau agama pun  Anda tidak akan lantas jadi maling, pemerkosa, dan pembunuh. Atau taruhlah Anda termasuk sebagian kecil manusia yang memang ada bakat psikopat, tidak punya empati, dan cuma takut sama neraka (semoga tidak ya), mbok ya jangan pukul rata dan menganggap bahwa semua orang seperti Anda.

~

Lalu mengapa manusia perlu akal sehat (mungkin ini yang disebut si X tadi sebagai “logika”—terus terang saya juga kurang paham) agar bisa benar-benar “baik”? Ambil contoh teman saya di Amerika Serikat. Katherine ini murid S2, salah satu murid yang paling berprestasi di bidang kami. Suatu saat saya, Katherine, dan teman saya satu lagi sedang bersiap-siap menonton film horor. Entah kenapa, link Amazon Prime yang ingin kami gunakan untuk menonton film online sedang kumat. Karena frustrasi, teman saya yang satu lagi mengusulkan agar kami menonton film tersebut di link lain yang gratis (dan seperti kebanyakan situs film gratis, juga ilegal). Katherine terdiam sebentar. Kata dia pelan-pelan (mungkin karena tidak mau menyinggung perasaan teman saya atau terkesan menggurui), “Hm, sebisa mungkin I want to do it the right way.” The right way artinya, tidak melanggar hukum dengan menonton film bajakan di link online gratis.

Memang perlu sedikit saja akal sehat untuk mengerti bahwa menonton film bajakan, menyogok polisi demi menghindari surat tilang, tidak membayar pajak seperti semestinya, sama saja dengan mencuri, karena merugikan pihak-pihak lain dengan mengambil atau tidak memberikan uang kepada pihak-pihak yang berhak secara hukum. Katherine ini juga tidak membeli pakaian dari beberapa merk Amerika Serikat karena tidak setuju dengan bagaimana mereka memperlakukan pekerja-pekerja pabrik di berbagai negara ketiga (baik dari kondisi kerja sampai tunjangan hidup). Katherine juga tidak membeli berlian karena khawatir berlian tersebut datang dari daerah-daerah konflik.

Dan guess what? Katherine seorang ateis yang datang dari keluarga sekuler. Ia, tidak seperti saya, tidak dibesarkan secara agama. Dan seperti saya, ia menganggap semua agama dan kitab suci hanya dongeng belaka.

Kalau Anda taat beragama dan yakin bahwa agamalah yang membuat Anda tetap baik, tanyakan ke diri Anda sendiri, apakah Anda sudah se”baik” Katherine (yang, btw, juga seorang vegetarian)? Atau sekedar “baik” secukupnya menurut agama Anda saja (tidak nyolong dompet orang, tidak  membunuh, menghormati orang tua, rajin ibadah, sedekah, yaddayadda)? Menjadi baik secukupnya itu mudah kalau Anda bukan seorang sociopath. Menjadi benar-benar baiklah yang susah. Saya juga masih berusaha agar bisa sebaik teman saya Katherine.

(Alika)

~~~

P.S.

Omong-omong soal korupsi tadi, sebagai penutup, ini daftar 10 negara paling tidak korup menurut studi yang diselenggarakan Transparency International (dimuat di Reuters):

Paling tidak korup (sesuai peringkat):

  1. Denmark
  2. Selandia Baru (skor sama dengan Denmark)
  3. Finlandia
  4. Swedia (skor sama dengan Finlandia)
  5. Norwegia
  6. Singapura (skor yang sama dengan Norwegia)
  7. Swiss
  8. Belanda
  9. Australia
  10. Kanada (skor yang sama dengan Australia)

Bosan yah. Negara-negara yang sama terus yang muncul. 

Pasti konspirasi jiionis!

Pasti konspirasi jiionis!

Sumber:

Home

http://www.eiu.com/

Klik untuk mengakses 2013_Global_Peace_Index_Report.pdf

Klik untuk mengakses 2012-Global-Peace-Index-Report.pdf

http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-12811197

Klik untuk mengakses 99-010-x2011001-eng.pdf

http://www.theguardian.com/world/2013/nov/11/sweden-closes-prisons-number-inmates-plummets

Klik untuk mengakses RED-C-press-release-Religion-and-Atheism-25-7-12.pdf

Eurobarometer Poll Report 2010

Lockard, Craig A. Societies, Networks, and Transitions: A Global History. Volume II: Since 1450. 2nd ed. Cengage Learning, 2010.

http://www.reuters.com/article/2013/12/03/idUS95815491020131203

GALLUP WorldView Poll 2006-2011 via http://en.wikipedia.org/wiki/Irreligion_by_country#Countries

Siapakah yang paling mencemarkan nama baik agama Anda?

Bayangkan Anda berada di sebuah negara yang sebentar lagi akan mengadakan pemilihan wakil rakyat.
Ada beberapa partai yang berdiri di sana: Partai A, B, C, dan D.
Partai terbesar adalah partai A, dan saingan terberatnya adalah partai B.
Sedangkan partai C, dan D, nyaris tidak memiliki pemilih.

Sekarang Anda adalah ketua partai A dan Anda tahu bahwa saingan terbesar Anda adalah partai B.
Suatu hari, teman Anda yang bekerja di surat kabar nasional mencari Anda.
Dia bilang dia memiliki 2 berita yang bisa menghancurkan nama baik partai A.
Berita pertama, ada seorang petinggi partai B yang memasang iklan menjelek-jelekkan partai Anda.
Petinggi partai B tersebut menulis kalau partai Anda jahat, menipu rakyat, koruptor semua, dsb.
Sedangkan berita kedua isinya adalah, Polisi menangkap basah salah satu petinggi partai A sedang menerima uang korupsi.

Sebagai teman yang baik, teman Anda yang bekerja di koran menawarkan bantuannya. “Saya bisa membujuk editor agar tidak menulis salah satu dari 2 berita tersebut, tetapi hanya satu, dan yang satu itu bakal muncul di halaman depan.”

Sekarang Anda sebagai ketua partai A, apa yang Anda lakukan?
Apakah anda akan membiarkan berita kalau petinggi partai A korupsi di halaman depan, sedangkan berita kalau petinggi partai B menghina partai Anda tidak muncul?
Atau sebaliknya?

Saya yakin hampir semua orang akan memilih sebaliknya.
Lebih baik membiarkan berita kalau petinggi partai B menghina partai Anda, daripada semua orang tahu kalau petinggi partai Anda ketangkap basah menerima suap.

Kalau begitu siapa yang lebih mencemarkan nama baik partai Anda?
Apakah petinggi partai saingan yang menghina partai Anda?
Atau justru petinggi partai Anda yang ketahuan korupsi?
——————————–

Sekarang bayangkan kalau Anda adalah kader partai A, bukan ketuanya.
Suatu hari Anda melihat kalau ada orang tak dikenal mengenakan atribut partai B sedang berorasi menjelek-jelekkan partai Anda.
Sedangkan di seberang lapangan anda melihat orang tak dikenal mengenakan atribut partai Anda, dan sedang memukuli pejalan kaki, sambil berteriak-teriak, “Partai A adalah partai yang benar, Anda harus pilih partai A, kalau tidak saya bunuh”.

Di sebelah Anda ada seorang polisi yang sanggup menghentikan salah satu dari kedua orang tersebut.

Sekali lagi saya tanya, Anda sebagai kader partai A akan meminta tolong polisi untuk menghentikan siapa?
Apakah orang yang mengenakan atribut partai B dan menghina partai Anda?
Atau menghentikan orang yang mengenakan atribut lengkap partai Anda dan memukuli para pejalan kaki sambil mengancam mereka untuk memilih partai Anda?

Saya yakin hampir semua orang akan memilih menghentikan orang yang kedua.
Tetapi kenapa?
Bukankah justru orang kedua memuji partai Anda?
Aedangkan orang pertama justru menjelek-jelekkan partai Anda?
Lalu siapakah yang sebenarnya merusak nama partai Anda?
Si kader partai B, atau kader partai A?

Bayangkan jika Anda memutuskan untuk meminta tolong polisi menangkap orang yang mengenakan atribut partai B dan menjelek-jelekkan partai Anda, bahkan orang tersebut dikenakan tuduhan penistaan partai.

Lalu Anda mendengar orang bergosip “Ternyata partai A jahat, suka mengancam orang buat memilih mereka”.
Apakah Anda punya muka untuk mengatakan kalau orang kedua cuman “Oknum”?
Kalau memang orang kedua cuman “Oknum” kenapa Anda justru menuduh orang pertama menistakan partai Anda dan bukannya menuduh orang kedua?
——————————–

Dari kedua analogi di atas, saya rasa tidak perlu dijelaskan panjang lebar siapa sebenarnya yang lebih menistakan agama Anda.
Silakan Anda menilai sendiri, apakah betul pemuka agama saingan yang menjelek-jelekkan agama Anda.
Atau justru orang yang mengenakan atribut lengkap agama Anda, memuji agama Anda, tapi kelakuannya justru memalukan.

Speciation as a Clear Evidence of How Biological Evolution is at Work

We used to hear about Darwin’s theory of evolution as the explanation of the present bio-diversity and leftover fossils found by the archaeologist. Sure, it’s easy to agree that natural selection plays a major role at making the rest of us walk the earth while the unfit succumbed and later on known as part of our prehistoric ancestors. But then again, why were they so different than the survivors at all? One of the explanations I found on a course about biological evolution was the one about Allopatric Speciation.

As we know, it’s the name for” speciation by geographic isolation” which is what happens when a population of a species got divided by barriers which made them separated by locations, which in turns making both (or more) populations developed their genetic differently later on as seen in their descendants.

How in real life would this be happening? Now surely we can use our human populations on earth as logical reasoning. We can clearly see how people who live on East Asian continent part of the world phenotypically different from the people who live on African continent. Though studies said that we all came from Africa, by the time we discovered the fact, we already looked very different in terms of appearance. Of course scientists stated that individual humans’ genetic differences are so miniscule (around 0.1%) that even when we can see how different our appearances are, we’re still the same species.

Just by the fact that geographical separation can create such difference within a species, it’s no doubt genetic diversity between 2 species populations from the same origin can become distinct cousins in the phylogeny tree. One example of such, is the majestic African Elephant. “The African Elephant has always been regarded as a single species but, because of morphological and DNA differences, some scientists classify them into three subspecies “.

And just how an argument based on Allopatric Speciation would prove that Evolution is right? Well, as it’s just one method of how one species can become different species, just think how it gives such impact on earth’s huge scale within such long period of time? Species populations got separated from one another, and little by little they went different ways, and repeat the process from billions of years ago until today. With addition of fossil findings and lab researches, evolution is a mindset that doesn’t just make sense, but proven to be happening even now.

 

Sources:

http://evolution.berkeley.edu/evosite/evo101/VC1bAllopatric.shtml

http://en.wikipedia.org/wiki/Allopatric_speciation

http://humanorigins.si.edu/evidence/genetics

http://www.darwinwasright.org/speciation.html

http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/2282801.stm

http://myxo.css.msu.edu/ecoli/

Sains Perlu Bukti, Iman Tidak

Penulis:

‘ateis menuhankan otak, ateis menuhankan logika, ateis menuhankan
sains’. Itu adalah sebagian dari kata-kata yang sering di lontarkan
para teis kepada ateis.

Sains menjelaskan bahwa bumi itu bulat, atau lebih tepatnya elips.
Walaupun anda tidak percaya terhadap pernyataan ini tidak akan membuat
fakta bahwa bumi itu
berbentuk elips berubah menjadi berbentuk datar. Sains tak butuh orang
percaya atau tidak percaya. Sains membutuhkan bukti atau
fakta empiris. Fakta empirislah satu-satunya
yang dibutuhkan sains. Dan sains tidak pernah memberikan claim,
pernyataan yang diberikan pun didasari bukti-bukti valid.

Virus, kuman, elektron, proton, atau banyak hal lainnya secara fakta
tidak dapat ditangkap oleh pancaindra manusia. Tapi, sains bisa
membuktikannya bahwa semua itu memang real/ nyata. Pancaindra tidak
mampu menjangkaunya, tapi alat bantu kehidupan manusia bisa
menjangkaunya. Kini kita tahu bahwa objek-objek tersebut memang
terbukti ada. Bukti-lah kuncinya, bukan klaim. Bisa saja seseorang
mengklaim ini dan itu, karena ini dan itu tersebut tercantum dalam
sebuah buku suci, tapi jika tidak ada bukti yang menyertainya,
bagaimana bisa hal tersebut disebut real/ nyata. Patokannya adalah
bukti. Alangkah bodohnya jika kita meyakini sesuatu tapi tidak
memiliki bukti.

Mengklaim itu mudah, tapi membuktikannya itu yang susah. Klaim luar
biasa membutuhkan bukti luar biasa itu kata Carl Sagan (eh benar kan?.
Mengklaim bahwa perahu nuh itu ada, musa menyeberang laut merah dengan
membelahnya itu terjadi, dan bulan pernah terbelah 2 dan menyatu
kembali, itu adalah mudah. Tapi, jika tidak ada bukti kuat yang
mendukung klaim ini, bagaimana kita bisa membedakannya dari dongeng
atau bukan dongeng? Dongeng tidak butuh bukti dan tidak ada yang
menuntut bukti. Adakah yang menuntut sapu terbang dalam novel Harry
Potter itu nyata atau tidak? Tidak ada. Adakah yang menuntut manusia
hobita dalam The Lord of The Ring itu nyata atau tidak? Tidak ada.
Adakah yang menuntut kantung ajaib dalam film doraemon itu nyata atau
tidak? Tak ada kewajiban untuk membuktikan. Ya namanya juga dongeng.
Dongeng tak butuh orang repot-repot membuktikannya. Dongeng memang tak
ada bukti. Semua mengetahuinya. Sesuatu dianggap nyata membutuhkan
bukti. Dongeng tak butuh bukti. Karena tidak ada bukti, dongeng
bukanlah sesuatu yang nyata.

Dan ada lagi kalimat yang sering saya dengar dari teis:
A: Kitab suci agama saya saya benar
B: apa buktinya?
A: sebab tertulis dalamnya bahwa kitab suci ini benar.

Gimana sih, mengklaim sendiri, lalu menyatakan benar sendiri.
Bagaimana mungkin sumber pembenarnya dari kitab sucinya sendiri. Jeruk
makan jeruk lah yah. Bisakah kitab suci membuktikan klaim kebenaran
dengan bukti di luar dirinya? Tentu saja bisa. Saya sangat yakin bahwa
hal tersebut bisa dilakukan. Jika sudah ada bukti, ya selanjutnya
adalah tinggal mengumumkan bukti tersebut agar bisa dinilai
keabsahannya secara lebih seksama. Mengclaim sana-sini seperti yang
sering dilakukan para teis

Tapi, kembali ke judul tulisan ini bahwa sains memang membutuhkan
bukti, tapi iman tidak. Jelas sudah bahwa keduanya memiliki paradigma
yang berbeda.
Ateis = tidak percaya tuhan, lalu bagaimana bisa menuhankan sains?
Kalau menuhankan sains bukan ateis dong namanya 🙂

Kisah Awal Kehidupan Bumi Menurut Sains

Bumi yang penuh kehidupan sekarang ini awalnya hanya berisi batuan cair yang membara panas, seperti lava gunung berapi yang menyembur dan mengalir deras membakar semua yang dilewatinya.  Kondisi ini terus berlangsung dalam waktu yang sangat lama, sampai akhirnya cukup banyak kalor yang terlepas ke udara dan suhu permukaan bumi mendingin.  Terbentuklah daratan dan lautan yang berasal dari terpisahnya unsur padat dan cair, dan angkasa yang masih diisi oleh atmosfir primitif.  Atmosfir primitif bumi saat itu dipenuhi gas beracun akibat ketidak-mampuannya untuk menyaring sinar UV matahari.  Ini terus berlangsung sampai sekitar 3 milyar tahun yang lalu.

permukaan bumi

“Lalu di mana kehidupannya?” tanya seseorang.  Kehidupan muncul sekitar 2,5-3 milyar tahun yang lalu, dan bukan dari tanah yang tiba-tiba tertiup udara dan bernafas, namun dari laut.  Karena kondisi atmosfir yang tidak mendukung, semua kehidupan di permukaan darat akan habis tersiksa oleh sengatan matahari yang dahsyat dan udara yang tipis akan kandungan oksigen.  Jarak permukaan sampai ke dasar laut sangatlah dalam, dan laut berfungsi sebagai tabir surya di masa awal mula kehidupan.  Panas bumi dan cahaya matahari, keduanya merupakan faktor penting tercampur-aduknya sop purba dalam reaksi kimia yang menghasilkan organisme hidup perdana.  Asam amino adalah bahan dasarnya, dan reaksi yang mengaktifkan terbentuknya organisme purba ini akhirnya membuatnya mengembangkan kemampuan menyerap energi dan berkembang biak.

Bakteri yang menjadi nenek moyang seluruh kehidupan di bumi memanfaatkan energi cahaya matahari.  Mereka berwarna ungu, dan berkembang biak, menyebar dan memenuhi seluruh lautan.  Bayangkan bumi terlihat ungu dari luar angkasa, tidak seperti sekarang bercahaya biru. Hanya sebagian cahaya matahari yang dipakai oleh bakteri primitif ini, sisanya masuk ke laut yang lebih dalam.  Bakteri yang berkembang berikutnya memanfaatkan spektrum cahaya tersisa, yang menjadikan mereka berwarna hijau.  Mereka dikenal sebagai Cynobacteria, mikroba hijau inilah yang kemudian menjadi nenek moyang seluruh spesies tumbuhan di dalam Kingdom Plantae.

Cynobacteria memiliki kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain, fotosintesis.  Dengan memanfaatkan energi dari cahaya matahari, mereka memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen.  Hidrogen dipakai untuk bereaksi dengan karbondioksida menjadi gula, dan oksigen dilepaskan ke udara, mengisi atmosfir, dan akhirnya bereaksi membentuk Ozon.  Ozon inilah yang menjadikan atmosfir bumi mampu menyaring sinar UV matahari.  Sisa oksigen yang berlimpah bermanfaat untuk respirasi tumbuhan, dan dengan kondisi yang ramah kehidupan ini, makhluk lain yang memanfaatkan oksigen untuk mencerna makanan ikut mengalami ledakan populasi dan berevolusi.

Ilmuwan menyebut kejadian ini sebagai Oksidasi Besar, yaitu kejadian di mana reaksi pembentukan oksigen yang memenuhi atmosfir primitif, menjadikannya kaya akan oksigen (O2) dan akhirnya membentuk ozon (O3) yang menahan terjangan sinar matahari dan menstabilkan atmosfir sehingga mendukung kehidupan.

Sumber: How To Grow A Planet – BBC

Apakah kaum religius lebih bahagia dari orang ateis? Jawabnya: ya!

20130825-234515.jpg

Dua tahun lalu, seorang kawan saya yang masih religius (sekarang ateis, tapi bukan itu fokus kita dalam artikel ini) memperlihatkan artikel penelitian yang menunjukkan bahwa secara statistik, orang-orang religius lebih bahagia ketimbang mereka yang non-religius. Penelitian ini didukung oleh banyak peer review dan replikasi serupa sehingga bukan merupakan anecdotal evidence. Non-religius dan ateis lebih mudah terserang stres dan depresi sementara orang-orang religius lebih resisten terhadap depresi dan menunjukkan indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dalam cakupan populasi yang sama. Ketika menunjukkan artikel-artikel ini, rekan saya dengan wajah penuh kemenangan mengatakan “in your face, atheist!! Muahahaha…

Saya bisa memahami bahwa ketika orang beragama menghadapi masalah, dia memiliki sosok untuk mengadu, terlepas dari apakah doa bisa mempengaruhi hasil (berdasarkan hasil penelitian-penelitian berikut ternyata tidak), ada rasa ketenangan yang didapat seseorang ketika berdoa. Berbeda dengan ateis yang cenderung taktis dalam menghadapi masalah dan fokus pada solusi. Tentu ketika solusi secara jelas tidak bisa didapat, ateis rentan terhadap stress dan depresi.

Namun ternyata ketika kita melihat lebih dalam dan melakukan cross analysis dengan faktor faktor yang terlibat di dalamnya, agama menang dalam indeks kebahagiaan bukan karena alasan sesederhana itu. Pertama, penelitian-penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat dan negara-negara maju di mana perilaku manusia cenderung lebih individualistik dan agama adalah salah satu sarana aktivitas sosial yang paling dominan dalam mempersatukan masyarakat. Dan aktivitas sosiallah yang secara signifikan berpengaruh terhadap kebahagiaan. Diener and Seligman (2002) menunjukkan bahwa orang-orang religius secara signifikan lebih terikat pada lingkungan sosial lewat agamanya, yang mana jika populasi ini dikeluarkan dalam penelitian maka agama dalam lingkup individu sama sekali tidak memprediksi kebahagiaan lebih tinggi dibanding non-religius.

Didukung juga penelitian Salsman, Brown, Brechting, & Carlson (2005), orang-orang religius lebih memiliki keinginan untuk mendukung lingkungannya secara sosial dan hal ini juga berkorelasi terhadap kemapanan psikologis.

Paling penting, Okulicz-Kozaryn (2010) menunjukkan bahwa kepuasan hidup mereka yang religius hanya ada secara signifikan jika mereka tinggal di lingkungan di mana mayoritas orang adalah religius. Di lingkungan di mana mayoritas orang adalah non religius, perbedaan tingkat kebahagiaan tidak terlihat secara signifikan dari dua kelompok tersebut.

Cukup jelas bagaimana faktor pembeda adalah aktivitas sosial, dan bukan merupakan faedah suci yang dikaruniakan Tuhan. Saya pribadi mengenal banyak orang yang mengaku lebih bahagia setelah terbebas dari dogma dan bertemu dengan rekan-rekan yang sepemahaman. Terlebih lagi, terlepas dari itu semua, masa di mana anak masih percaya Sinterklas tentu lebih menyenangkan dibanding ketika dia menyadari bahwa Sinterklas hanyalah dongeng.

Further reading:

http://springerlink.metapress.com/content/650q541579041625/fulltext.html

http://psr.sagepub.com/content/14/1/84.abstract,A

http://www.psychologytoday.com/blog/death-love-sex-magic/201212/are-religious-people-happier-non-religious-people

Cohen-Zada, D. & Sander, W. (2011) Religious Participation versus Shopping: What Makes People Happier? Journal of Law and Economics.

Diener, E., & Seligman, M.E.P. (2002). Very happy people. Psychological Science, 13, 81-84.

Okulicz-Kozaryn, A. (2010). Religiosity and life satisfaction across nations. Mental Health, Religion & Culture, 13, 155-169.

Salsman, J. M., Brown, T. L., Brechting, E. H., & Carlson, C. R. (2005). The link between religion and spirituality and psychological adjustment: The mediating role of optimism and social support. Personality and Social Psychology Bulletin, 31, 522–535.

Most Religious Countries and Most Atheist Countries

Artikel berikut menyorot mengenai beberapa statistik merosotnya kepercayaan terhadap agama, seiring majunya pendidikan dan ilmu pengetahuan dari 57 Negara. Artikel sumber dapat ditemukan di huffingtonpost.com.

Which countries are the most and least religious? The WIN-Gallup International “Religion and Atheism Index” collected data from 57 countries in order to find out.

The Religiosity Index represents the percentage of the population who self-describe themselves as ‘a religious person’ in the question worded as: Irrespective of whether you attend a place of worship or not, would you say you are a religious person, not a religious person or a convinced atheist?
Some interesting takeaways:

1. The poor are more religious than the rich. People in the bottom income groups are 17 percent more religious than those in the top income groups.

2. Globally, the number of those claiming to be religious has dropped by 9 percent from 2005 to 2011, while the number of people identifying themselves as atheists has risen by 3 percent.

3. Four countries have experienced a drop in religiosity in their populations that is greater than 20 percent between 2005 and 2012. France and Switzerland saw decreases of 21 percent, while Ireland’s number of faithful declined by 22 percent and Vietnam’s by 23 percent.

Apa itu mesin waktu?

20130825-163931.jpg

Mesin waktu, dari sudut pandang film-film fiksi sains, adalah sebuah kendaraan di mana pengendara (dan penumpangnya) mempunyai kemampuan untuk memanipulasi arus jalannya waktu sehingga dapat memutarbalikkan waktu menuju masa lalu atau mempercepat waktu menuju masa depan. Apakah kemampuan untuk memanipulasi arus jalannya waktu ini benar-benar bisa dilakukan? Mari kita bahas bersama. Tapi sebelumnya mari kita bedakan antara perjalanan ke masa lalu dan ke masa depan.

Apakah perjalanan menuju masa lampau itu mungkin? Apakah kita bisa memutarbalikkan waktu?

Jawaban singkatnya, tidak. Dalam bidang fisika termodinamika, kita mengenal apa yang disebut dengan entropi. Entropi, dalam skala keseharian, adalah nilai perubahan energi untuk mencapai keseimbangan temperatur dalam sebuah sistem tertutup. Contoh sederhana disebutkan dalam hukum kedua termodinamika itu sendiri: energi panas akan selalu mengisi ruangan yang bersuhu lebih rendah sehingga suhu akhir ruangan tersebut mencapai keseimbangan. Sedangkan di skala sub-atomik, entropi adalah dinamika pergerakan partikel untuk mencapai suatu keseimbangan (thermal equilibrium) yang berprinsip pada hukum kedua termodinamika. Jadi, memutarbalikkan waktu berarti juga memutarbalikkan momentum pergerakan seluruh partikel di alam semesta ini agar menempati posisi sebelumnya. Hal ini tentu bertentangan dengan hukum kedua termodinamika.

Baca lebih lanjut

Bila Menikah adalah Anjuran Agama, Mengapa Ateis Menikah?

Bertahun-tahun menjadi ateis, ada satu pertanyaan yang tidak pernah bosan ditanyakan oleh para teis, yaitu pernikahan. Modus yang saya tangkap adalah sebetulnya mereka hanya ingin mengatakan kalau menikah itu adalah anjuran agama. Dan karena pernikahan adalah hal agamis, bila ateis menikah maka ateis tersebut sebetulnya juga menjalankan sebuah ajaran agama. Tapi apakah benar demikian?

Begitu banyak teis fanatik yang terobsesi dengan pertanyaan tentang pernikahan. Dan dari banyak diskusi, saya menyimpulkan bahwa para fanatik ini berpikir bahwa pernikahan adalah satu hal yang membuat manusia lebih mulia daripada makhluk lain. Sekilas mungkin ini benar, tapi bila kita lihat lebih jauh, kita sama-sama tahu bahwa pernikahan itu tidak terbatas pada ritualnya.

Baca lebih lanjut

Apa itu “Flying Spaghetti Monster”?

20130812-075327.jpg

Flying Spaghetti Monster adalah Tuhan parodi/agama parodi yang sering digunakan para nonbeliever (ateis) ketika ditanya apa agama/tuhan mereka dalam konteks yang tidak serius. Sama seperti ‘invisible pink unicorn’ atau versi lokal: Cherrybelle Tuhan Semesta Alam. Banyak agama besar di dunia memiliki kisah yang kurang lebih sama anehnya, namun karena mereka terbiasa dengan kisah agama masing masing, mereka hanya mampu melihat kekonyolan agama lainnya. Kemunculan istilah istilah FSM sendirimemiliki cerita yang menarik.

Awal mulanya: negara bagian Kansas di Amerika Serikat dengan cerobohnya mengeluarkan keputusan untuk mengganti kurikulum mengenai teori evolusi dan menawarkan intelligent design sebagai alternatif dalam meta pelajaran sains. Seperti kita tau, intelligent design memiliki prinsip bahwa tubuh manusia dan alam semesta yang kompleks pasti memiliki pencipta di baliknya. Bahwa awalnya ini terlihat seperti argumen teisme umum, di dalamnya sarat dengan jumping argumen yang berakhir dengan pengajaran teologi Kristen.
Baca lebih lanjut